Penularan Human Immunodeficiency Virus atau HIV-AIDS semakin luas, tak terkecuali di Cilacap, Jawa Tengah. Di kabupaten pesisir ini, kelompok rentan penularan semakin banyak ragamnya.
Sementara, hingga kini HIV-AIDS belum ada obatnya. Yang bisa dilakukan hanya upaya medis untuk menjaga agar Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) bisa hidup dan beraktivitas normal.
Betapa seriusnya persoalan ini direspon Pemerintah Daerah Cilacap dengan menelurkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Cilacap. Dalam perda itu, berbagai program penanggulangan dilakukan, seperti kewajiban tes HIV bagi calon pengantin dan ibu hamil.
Hasilnya mengejutkan. Dari Seluruh pasangan pengantin yang menjalani voluntary counselling and testing (VCT) atau konseling dan tes HIV sukarela (KTS) bagi calon pengantin dan ibu hamil ada 59 calon pengantin positif HIV.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Dinas kesehatan Kabupaten Cilacap, Kuswantoro mengatakan, jumlah ini merupakan akumulatif sejak berlaku efektifnya Perda sejak 2016 lalu.
“Semua calon pengantin wajib menjalani VCT sebelum melangsungkan pernikahan. Itu untuk pencegahan penularan dan edukasi,” ucapnya, Senin, 26 Agustus 2019.
Untuk mencegah penularan ke pasangannya, sebelum VCT dilakukan, calon pengantin akan menandatangani kontrak untuk bersedia memberitahukan kepada pasangan hasil tes laboratorium HIV-AIDS-nya.
Akumulasi Penderita HIV-AIDS Cilacap
Namun, karena kontrak itu baru diberlakukan, ada calon pengantin yang tidak memberitahukan hasil tes kepada pasangannya.
“Berkali-kali berhubungan intim ya risiko tertularnya sangat tinggi,” ujarnya.
Kuswantoro mengemukakan, tingkat penularan HIV/AIDS di Cilacap tergolong tinggi. Saat ini, ada sekitar 1.400 orang yang positif mengidap HIV. Angka ini merupakan akumulatif sejak 2007.
Namun, angka ini masih jauh dari jumlah perkiraan Dinas Kesehatan Cilacap. Diperkirakan akumulasi jumlah penderita HIV Cilacap mencapai 1.762 orang. Angka perkiraan itu berdasar dari analisis data per kelompok berisiko tinggi dan potensi penularan.
Artinya, tahun ini Dinas Kesehatan masih memiliki PR untuk menemukan sekitar 20-30 persen ODHA lain yang belum terdeteksi. Dan itu, menurut Kuswantoro, bukan hal mudah.
Sebab, banyak ODHA yang cenderung menyembunyikan identitasnya. Terlebih, banyak kelompok rentan penularan yang cenderung tertutup.
“Dalam penghitungan perkiraan ini kami melibatkan para ahli. Ada juga LSM, dan relawan,” dia mengungkapkan.
Kuswantoro mengungkapkan, hingga Juli lalu terdeteksi sebanyak 70 orang. Sekitar 40 persen di antaranya adalah kelompok Laki Suka Laki (LSL) atau homoseksual.
Edukasi Kelompok Risiko Tinggi HIV
Ditengarai jumlah penderita HIV dari kelompok ini berpotensi bertambah. Pasalnya, kelompok ini cenderung tertutup dan sulit dijangkau oleh petugas.
“Jadi ada yang PNS, ada yang suami punya istri punya anak. Tertutup. Jadi sulit untuk mengetahuinya. Kelompok ini lebih tertutup dari PSK,” dia menjelaskan.
Untuk pencegahan penularan, penanggulangan HIV-AIDS, serta edukasinya, kini seluruh Puskesmas di Cilacap berfasilitas VCT. Keberadaaan VCT ini untuk memudahkan masyarakat menjangkau fasilitas terdekat.
Selain Puskesmas, VCT juga tersedia di berbagai rumah sakit, baik milik daerah maupun swasta. Harapannya tentu saja agar penderita HIV-AIDS mudah ditemukan.
Edukasi untuk kelompok rentan, baik yang sudah positif HIV-AIDS maupun belum juga terus dilakukan. Salah satunya adalah edukasi untuk mengubah perilaku seksual. Diketahui, penularan terbanyak HIV adalah melalui hubungan seksual.
Bahkan, dampaknya juga turut dirasakan oleh ibu rumah tangga yang tak pernah beraktivitas di luar. Mereka tertular oleh suaminya.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga terus mendorong agar dilakukan edukasi di tingkat pelajar dan mahasiswa. Pasalnya, kelompok ini juga sangat rentan penularan HIV.
“Di dunia pendidikan ini sangat penting. Memang harus didorong oleh semua kalangan untuk edukasi HIV,” katanya.